This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Sejarah Muhammadiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Muhammadiyah. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Juli 2023

PANDANGAN MUHAMMADIYAH TENTANG KEHIDUPAN



Pandangan Islam tentang Kehidupan dapat ditemukan dalam buku Pedoman Hidup Islam Warga Muhammadiyah atau sering disingkat dengan (PHIWM) yang merupakan hasil Muktamar ke–44 tahun 2000 di Jakarta.

Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah merupakan pedoman untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang menunjukkan perilaku uswah hasanah (teladan yang baik).

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM)  sebagai  acuan nilai dan norma   bagi tingkah laku warga Muhammadiyah yang bertujuan  untuk terbentuknya perilaku individu dan kolektif seluruh anggota Muhammadiyah yang menunjukkan keteadanan yang baik (uswah hasanah) menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Materi PHIWM dikembangkan dan dirumuskan dalam empat bagian yang terdiri dari Pendahuluan, Pandangan Islam terhadap Kehidupan, Kehidupan Islami warga Muhammadiyah, Tuntunan  Pelaksanaan dan Penutup. Jadi, untuk mengetahui pandangan Muhammadiyah tentang Kehidupan, maka dapat ditemukan dalam bab atau bagian II  PHIWM, sebagaimana berikut: 

Pandangan Islam Tentang Kehidupan

Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul (Q.S. Asy-Syura/42: 13), sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul) berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan meliputi bidang-bidang aqidah, akhlaq, ibadah, dan mu’amalah duniawiyah.


Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah (Q.S. An-Nisa/4 : 125), Agama semua Nabi-nabi (Q.S. Al-Baqarah/2: 136), Agama yang sesuai dengan fitrah manusia (Q.S. Ar-Rum/30: 30), Agama yang menjadi petunjuk bagi manusia (Q.S. Al-Baqarah/2: 185), Agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesame (Q.S. Ali Imran/3: 112), Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam (Q.S. Al-Anbiya/21: 107). Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah8 Q.S. Ali Imran/3: 19 dan agama yang sempurna (Q.S. Al-Maidah/5: 3).


Dengan beragama Islam, maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup Tauhid kepada Allah (Q.S. Al-Ikhlash/112: 1-4), fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah (Q.S. Adz-Dzariyat/51: 56), dan menjalankan kekhalifahan (Q.S. Al-Baqarah/2: 30; Al-An’am/6: 165; Al`Araf/7: 69, 74; Yunus/10: 14, 73; As- Shad/38: 26), dan bertujuan untuk meraih Ridha serta Karunia Allah SWT (Q.S. Al-Fath/48: 29). Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar- benar diimani, difahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah (Q.S. Al-Baqarah/2: 208) dan penuh ketundukan atau penyerahan diri (Q.S. Al-An’am/6: 161-163).


Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama:


a. Kepribadian Muslim(Q.S. Al-Baqarah/2: 112, 133, 136, 256; Ali Imran/3 : 19, 52, 82, 85; An-Nisa/4: 125, 165, 170; Al-Maidah/5: 111, Al-An’am/6: 163; Al-Araf/7: 126; At-Taubah/9: 33; Yunus/10: 72, 84, 90; Hud/11: 14; Yusuf/12: 101; An-Nahl/16: 89, 102; Asy-Syuura/42: 13; Ash-Shaf/61: 9; Al-Mu’minun/23: 1-11),


b. Kepribadian Mu’min(Q.S. Al-Baqarah/2: 2-4, 213 s/d 214, 165, 285; Ali Imran/3: 122 s/d 139; An-Nisa/4: 76; At-Taubah/9: 51, 71; Hud/11: 112 s/d 122; Al-Mu’minun/23: 1 s/d 11; Al-Hujarat/49: 15),


c. Kepribadian Muhsin dalam arti berakhlak mulia18 Q.S. Al Baqarah/2: 58, 112; An-Nisa/4: 125; Al-`An’am/6: 14; An-Nahl/16: 29, 69, 128; Luqman/31: 22; Ash-Shaffat/37: 113; Al-Ahqhaf/46: 15 , dan


d. Kepribadian Muttaqin (Q.S. Al-Baqarah/2: 2 s/d 4, 177, 183; Ali Imran/3: 17, 76, 102, 133 s/d 134; Al- Maidah/5: 8; Al-‘Araf/7: 26, 128, 156; Al-Anfal/8: 34; At-Taubah/9: 8; Yunus/10: 62 s/d 64; An-Nahl/16: 128; Ath-Thalaq/65: 2 s/d 4; An-Naba/78: 31).


Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam

Setiap muslim yang berjiwa mu’min, muhsin, dan muttaqin, yang paripuma itu dituntut untuk memiliki keyakinan (aqidah) berdasarkan tauhid yang istiqamah dan bersih dari syirk, bid’ah, dan khurafat; memiliki cara berpikir (bayani), (burhani), dan (irfani); dan perilaku serta tindakan yang senantiasa dilandasi oleh dan mencerminkan akhlaq al karimah yang menjadi rahmatan li-`alamin.


Dalam kehidupan di dunia ini menuju kehidupan di akhirat nanti pada hakikatnya Islam yang serba utama itu benar-benar dapat dirasakan, diamati, ditunjukkan, dibuktikan, dan membuahkan rahmat bagi semesta alam sebagai sebuah manhaj kehidupan (sistem kehidupan) apabila sungguh-sungguh secara nyata diamalkan oleh para pemeluknya. Dengan demikian Islam menjadi sistem keyakinan, sistem pemikiran, dan sistem tindakan yang menyatu dalam diri setiap muslim dan kaum muslimin sebagaimana menjadi pesan utama risalah da’wah Islam.


Da’wah Islam sebagai wujud menyeru dan membawa umat manusia ke jalan Allah (Q.S. Yusuf/112: 108) pada dasarnya harus dimulai dari orang-orang Islam sebagai pelaku da’wah itu sendiri (ibda binafsika) sebelum berda’wah kepada orang/pihak lain sesuai dengan seruan Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksaneraka….”(Q.S. At-Tahrim/66: 6). Upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan dilakukan melalui da’wah itu ialah mengajak kepada kebaikan (amar ma’ruf), mencegah kemunkaran (nahyu munkar), dan mengajak untuk beriman (tu’minuna billah) guna terwujudnya umat yang sebaikbaiknya atau khairu ummah(Q.S. Ali Imran/3: 104, 110).


Berdasarkan pada keyakinan, pemahaman, dan penghayatan Islam yang mendalam dan menyeluruh itu maka bagi segenap warga Muhammadiyah merupakan suatu kewajiban yang mutlak untuk melaksanakan dan mengamalkan Islam dalam seluruh kehidupan dengan jalan mempraktikkan hidup Islami dalam lingkungan sendiri sebelum menda’wahkan Islam kepada pihak lain. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam maupun warga Muhammadiyah sebagai muslim benar-benar dituntut keteladanannya dalam mengamalkan Islam di berbagai lingkup kehidupan, sehingga Muhammadiyah secara kelembagaan dan orang-orang Muhammadiyah secara perorangan dan kolektif sebagai pelaku da’wah menjadi rahmatan lil `alamin dalam kehidupan di muka bumi ini 

Sumber: 

https://muhammadiyah.or.id/pandangan-muhammadiyah-tentang-kehidupan/







Minggu, 02 Juli 2023

KENAPA MUHAMMADIYAH SHALAT ID DI LAPANGAN

Hari Raya Idul Adha 2023 baru saja berlalu. Namun, tahun ini kembali tidak berjalan serentak, di mana Muhammadiyah melaksanakan Sholat Id lebih dulu pada Rabu (28/6/2023), sementara pemerintah dan NU satu hari setelahnya, Kamis (29/6/2023). Warga Muhammadiyah melaksanakan Sholat Id selalu di lapangan, sementara pemerintah dan orang NU lebih sering Sholat Id di masjid. Lantas apa alasan dan sejak kapan Muhammadiyah menggelar Sholat Id di lapangan terbuka?

Muhammadiyah adalah yang pertama kali memperkenalkan salat di tanah lapang. Awalnya gagasan ini tidak lazim dilakukan dan muncul pertentangan. Namun kini Sholat Id di tanah lapang telah diterima sebagai sesuatu yang lumrah.

Sholat Id di lapangan. Warga Muhammadiyah menggelar Sholat Id di lapangan terbuka. Foto: Republika.

Sholat Id di lapangan. Warga Muhammadiyah menggelar Sholat Id di lapangan terbuka. Foto: Republika.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Hari Raya Idul Adha 2023 baru saja berlalu. Namun, tahun ini kembali tidak berjalan serentak, di mana Muhammadiyah melaksanakan Sholat Id lebih dulu pada Rabu (28/6/2023), sementara pemerintah dan NU satu hari setelahnya, Kamis (29/6/2023). Warga Muhammadiyah melaksanakan Sholat Id selalu di lapangan, sementara pemerintah dan orang NU lebih sering Sholat Id di masjid. Lantas apa alasan dan sejak kapan Muhammadiyah menggelar Sholat Id di lapangan terbuka?


Muhammadiyah adalah yang pertama kali memperkenalkan salat di tanah lapang. Awalnya gagasan ini tidak lazim dilakukan dan muncul pertentangan. Namun kini Sholat Id di tanah lapang telah diterima sebagai sesuatu yang lumrah.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010) mencatat, pelaksanaan Sholat Id di lapangan untuk ‘pertama kali’ dilakukan Muhammadiyah pada 1926. Saat itu Sholat Id digelar di alun-alun utara Keraton Yogyakarta.

Prof Haedar menulis Kiai Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923 itu telah berusaha memahamkan umat Islam agar mengikuti Sunnah Nabi Saw dengan Sholat Id di lapangan terbuka. Pada masa itu umat muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab fiqih Syafi’i memang melaksanakan Salat Id di masjid atau imam di dalam masjid. Alasannya, karena sholat di dalam masjid lebih utama.


Dalam Almanak Muhammadiyah 1394 (1974), tercatat Muhammadiyah melaksanakan Sholat Id di tanah lapang dimulai pada 1926. Utamanya, dengan merujuk pada hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya.

St. Nurhayat, dkk dalam Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai (2019) menjelaskan asal mula keputusan penggunaan tanah lapang sebagai lokasi Sholat Id bermula dari kritikan seorang tamu dari negeri India pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim antara tahun 1923-1933. Tamu dari negeri India itu memprotes mengapa Muhammadiyah melaksanakan Sholat Idul Fitri di dalam Masjid Keraton Yogyakarta.

Menurut tamu itu, Muhammadiyah yang telah memposisikan diri sebagai gerakan Tajdid (pencerahan) seharusnya melaksanakan Sholat Id di tanah lapang sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Penggunaan Masjid Keraton sebagai tempat Sholat Id Muhammadiyah memang tidak terlepas dari bentuk penghormatan Muhammadiyah kepada Sultan Hamengkubuwono VII yang telah mengamini izin dari Kiai Ahmad Dahlan agar Muhammadiyah diperbolehkan berbeda tanggal perayaan hari besar Islam dengan Keraton.

Perbedaan itu lantaran Muhammadiyah memakai sistem hisab dan Kalender Hijriyah, berbeda dengan Keraton yang memakai penanggalan tradisional Jawa atau Aboge sehingga terdapat perbedaan tanggal hari besar Islam.


KSholat Id di lapangan akhirnya disiarkan lewat keputusan Muktamar juga disebutkan oleh St. Nurhayat di atas. Sebab di masa Kiai Ibrahim itu, fokus Muhammadiyah mulai bergeser pada persoalan Takhrij Hadis dan persoalan ubudiyah, terutama pada tahun 1927


Dari titik inilah kemudian juga terjadi penghimpunan para ulama Muhammadiyah untuk membicarakan berbagai persoalan peribadatan yang kemudian diberi nama sebagai Majelis Tarjih, yang eksistensinya di Muhammadiyah baru nampak pada masa kepemimpinan Kiai Mas Mansur pada tahun 1936-1942. Atas keputusan Muktamar tahun 1926 itu pun, berbagai konsul dan cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia ditengaarai mulai rutin menggelar ibadah Salat Id di tanah lapang pada tahun-tahun berikutnya.

Sumber:

https://kurusetra.republika.co.id/posts/225673/mengapa-orang-muhammadiyah-sholat-id-di-lapangan-bukan-di-masjid

.

Selasa, 13 Juni 2023

PRM SUDIRMAN : RANTING PERTAMA DI TANAH KARO

Pimpinan Ranting Muhammadiyah Sudirman adalah pimpinan ranting yang pertama dibentuk di Kabupaten Karo pada tahun 1975. Ranting ini berada di wilayah kelurahan Gung Leto Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo. Pembentukan ranting ini digagas oleh warga masyarakat Minang yang berdomisisli di wilayah jalan Sudirman Kabanjahe. Masyarakat Minang perantau pada tahun 1960-an banyak bertempat tinggal di seputar Jalan Sudirman. Pada waktu banyak rumah kontrakan yang ditempati beberapa keluarga karena luasnya dan banyaknya ruangan kamar . Inilah barangkali yang menjadi alasan kenapa Ranting Muhamamdiyah Sudirman bisa terbentuk.

 Berdasarkan dokumen yang kami peroleh, PR Muhammadiyah Sudirman telah berdiri sejak tahun 1975. Rencana pembentukannya berdasarkan hasil rapat anggota pada tanggal 9 Januari 1975. Pada rapat tersebut telah disusun kepengurusan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Sudirman sebagai berikut :

Ketua                 : St. Rusli

Wakil Ketua       : Sd. Zainal Arifin

Sekretaris          : Mahyunis Harun

Wakil Sekretaris: Harmay G

Bendahara        : Sd. Buyung Adik

Keuangan          : Sofyan Can

Keuangan          : Yusril . R

Anggota             : St. Asnur

                            Sd. Dasli

 Sebelum rencana pembentukan ranting,  kegiatan pembinaan jamaah sudah dilakukan sebelumnya dengan jumlah anggota sebanyak 47 orang dengan perincian laki-laki sebanyak 27 orang dan perempuan 20 orang. Sebanyak 36 orang anggota sudah memiliki kartu Muhammadiyah. Adapun kegiatan yang dilakukan selama ini adalah pengajian rutin yang dilaksanakan seminggu sekali pada hari Jumat sore. Di samping itu mengadakan pengajian umum yang dilakukan sekakli sebulan setiap Jumat malam di awal bulan. Pembinaan ini dilakukan oleh Korp Mubaligh Muhammadiyah Kabanjahe. Diperkirakan kegiatan ini sudah berjalan sekitar 3-4 tahun sebelum pembentukan ranting Muhammadiyah.

 

Selain itu cikal bakal Pimpinan Ranting Muhammadiyah ini juga sudah menyewa rumah untuk masa dua tahun sebagi pusat kegiatan. Termasuk sebagai tempat mengaji dan belajar anak-anak yang dilakukan setiap malam kecuali malam Sabtu.  Materi pelajaran yang diberikan adalah membaca al-Quran dan pelajaran shalat.   Sudah tentu tempat ini sekaligus sebagai kantor.

 Berdasarkan imformasi di atas kita bisa melihat para pendiri ranting Muhammadiyah adalah kader-kader Muhammadiyah yang terbaik. Penuh semangat berjuang. Kalau mau jujur apa yang mereka lakukan sudah maju dibandinghkan dengan yang kita lakukan saat. Tetap semangat ber-Muhammadiyah.



Surat permohonan pengesahan ranting Sudirman

Surat Hal Penetapan Pimpinan Ranting
( Draf atau pertinggal sebelum ditandatangani)




Selasa, 21 September 2010

Sejarah Muhammadiyah

Sejarah Muhammadiyah

Masjid

Masjid Gedhe Kauman
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .

Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.

Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.

Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.

Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namnaya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.

KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
Tabel Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Periode Kepemimpinannya
No Nama Awal Menjabat
Akhir Menjabat
1 KH Ahmad Dahlan 1912 1923
2 KH Ibrahim 1923 1932
3 KH Hisyam 1932 1936
5 KH Mas Mansur 1936 1942
6 Ki Bagoes Hadikoesoemo 1942 1953
7 Buya AR Sutan Mansur 1953 1959
8 HM Yunus Anis 1959 1962
9 KH Ahmad Badawi 1962 1968
10 KH Faqih Usman 1968 1971
11 KH AR Fakhruddin
1971 1990
12 KHA Azhar Basyir 1990 1995
13 Amien Rais 1995 2000
14 Syafii Ma'arif
2000 2005
15 Din Syamsuddin 2005 sekaran

Sejarah Pendiri MuhammadiyahK: H. Ahmad Dahlan

Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan) dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.

Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah.

Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).

Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :

"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).


Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.

Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.

Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, maka Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.

Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Ia dikenal sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta yang mempunyai penghasilan yang cukup tinggi. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.

Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.

Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :

1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.